Makalah Pkn Bela Negara Presiden
BAB I
PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR
Sebelumnya saya ingin mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah pkn bela negara presiden. Telah menjadi tekad saya sejak awal untuk menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, saya mengerjakan makalah ini dengan sungguh-sungguh dan memberikan berbagai informasi tentang maraton dan atletik yang saya ambil dari berbagai sumber.
Makalah ini di dalamnya membahas tentang bela negara presiden. Sebagai makhluk yang lemah dan tak sempurna, saya mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan
makalah ini. Saya mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam menyelesaikan makalah ini.
Bandung 18 februari 2014
Penulis
A. Latar Belakang
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, UUD Sementara Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002. Dan sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang telah terjadi pasang surut dalam kekuasaan Presiden Republik Indonesia.
Pada awal kemerdekaan, berdasarkan ketentuan Pasal IV aturan peralihan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar karena memegang kekuasaan pemerintah dalam arti luas. Ketika itu dalam menjalankan kekuasaannya presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer. Sehingga menetapkan presiden hanya sebagai kepala negara, tidak lagi sebagai kepala pemerintahan. Ini artinya kekuasaan berkurang kembali.
Kemudian ketika Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sehingga memberikan kesempatan yang besar untuk menjalankan kekuasaannya.
B. Tujuan :
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI sebelum perubahan UUD 1945.
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI menurut UUD 1945.
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI menurut Konstitusi RIS 1949.
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI menurut UUD Sementara 1950.
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI setelah berlaku kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
- Mengetahui kekuasaan Presiden RI sesudah perubahan UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Presiden Ri Sebelum Perubahan Uud 1945
Sebelum perubahan UUD RI 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah berganti konstitusi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Perubahan tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan presiden.
1. Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945
Undang-undang Dasar 1945 menempatkan kedudukan Presiden pada posisi yang sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya dua fungsi penting oleh presiden , yaitu fungsi sebagai kepala Negara dan fungsi sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan presiden antara lain sebagai berikut :
- Kekuasaan di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 4 ayat 1 jelas mengatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Makna dari pasal itu yakni, presiden adalah satu-satunya orang yang memimpin seluruh pemerintahan.
- Kekuasaan di Bidang Legislatif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden lebih besar daripada DPR. Selain mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama DPR, dalam kondisi kegentingan yang memaksa presiden juga mempunyai kekuasaan membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), serta berhak menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang.
- Kekuasaan di Bidang Yudisial
Presiden, menurut UUD 1945, juga mempunyai beberapa kekuasaan yudisial, yaitu: pertama, kekuasaan memberi grasi kepada orang yang dihukum. Kedua, presiden mempunyai kekuasaan untuk memberikan abolisi. Ketiga, presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan amnesti. Keempat, presiden mempunyai kekuasaan untuk melakukan rehabilitasi kepada seseorang yang haknya telah hilang akibat putusan pengadilan.
- Kekuasaan di Bidang Militer
“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Menurut bunyi pasal 10 UUD 1945, presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selain itu, presiden, dengan persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain.
- Kekuasaan Hubungan Luar Negeri
Kekuasaan mengenai hubungan luar negeri yang sering disebut sebagai kekuasaan diplomatik berupa kekuasaan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. UUD 1945 Pasal 11 mengatur mengenai kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Dalam hal membuat perjanjian, pasal tersebut juga mewajibkan kepada presiden untuk meminta persetujuan DPR.
Menurut UUD 1945 Pasal 12 yang mengatakan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat keadaan bahaya diterapkan dengan undang-undang.” Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam sejarahnya, kekuasaan darurat ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yaitu: pertama, ketika Perdana Menteri Syahrir diculik. Kedua, ketika suasana politik yang memanas akibat perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. Ketiga, ketika terjadi perebutan kekuasaan di Madiun.
- Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Secara eksplisit UUD 1945 hanya mencantumkan beberapa pejabat tinggi negara yang harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Antara lain adalah; menteri-menteri, duta dan konsul. Namun, karena presiden mempunyai kewenangan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan pemerintah, maka hampir semua pejabat tinggi diangkat oleh presiden, seperti: hakim-hakim agung, jaksa agung, ketua badan pemeriksa keuangan, dan lain-lain.
2. Kekuasaan Presiden Menurut Konstitusi RIS 1949
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dalam UUD RIS 1945 kedudukan presiden hanya sebagai kepala negara. Sementara kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai oleh perdana menteri. Namun secara formal, presiden juga adalah pemerintah. Karena sifatnya Cuma formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada menteri-menteri. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.
Dari ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Bab III tentang “Perlengkapan Republik Indonesia Serikat” konstitusi RIS 1949, kekuasaan presiden antara lain sebagai berikut :
a) Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Meskipun dalam setiap pengambilan keputusan pemerintahan presiden harus bergantung dengan kabinet, namun secara formal presiden adalah kepala pemerintahan,sehingga segala keputusan pemerintah adalah sama dengan keputusan presiden.
b) Kekuasaan di Bidang Legislasi
Peraturan-peraturan menjalankan undang-undang ditetapkan oleh pemerintah namanya ialah peraturan pemerintah.” Undang-undang Federal dan Peraturan pemerintah itu dilakukan dengan keputusan presiden. Semua peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan oleh menteri bersangkutan.
c) Kekuasaan di Bidang Yudisial
Seperti halnya dalam UUD 1945, menurut Konstitusi RIS 1949 presiden mempunyai hak memberi ampunan dan keringanan hukuman atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Tetapi kalau amnesti, hanya bisa diberikan jika presiden sudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung. Sedangkan abolisi, diatur dalam Pasal 160 Konstitusi RIS 1949.
d) Kekuasaan di Bidang Militer
Kekuasaan atas angkatan bersenjata secara tegas dicantumkan dalam Pasal 182 Konstitusi RIS 1949.
3. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Serupa dengan UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950 juga secara tegas menyatakan dalam Pasal 45 Ayat (1) “Presiden ialah Kepala Negara.” Karena kedudukan presiden adalah sebagai kepala negara, maka presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban , sementara yang harus bertanggungjawab adalah para menteri baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Persoalan kemudian muncul ketika UUD Sementara 1950 tidak secara tegas dalam satu pasal pun yang menyatakan apakah presiden merupakan bagian dari pemerintah bersama-sama para menteri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 UUD RIS.
Keadaan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Presiden Soekarno menganggap keadaan seperti ini menimbulkan “dualisme” dalam kepemimpinan bangsa di mana pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan pemerintahan. Pimpinan revolusi justru dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan dan hanya dijadikan “tukang stempel”.
Menurut Ismail Suny, Presiden adalah bagian dari suatu “dwi-tunggal” Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan para menteri merupakan bagian yang lain. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran sistematis penempatan ketentuan mengenai presiden dan menteri-menteri yang ditempatkan secara bersama-sama pada Bagian I dari Bab II dengan kepala; “Pemerintah.” Kemudian apabila dihubungkan Bagian I dari Bab II ini dengan Bagian I dari Bab III terutama Pasal 83, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peniadaan Pasal 68 UUD RIS 1949 dalam UUD Sementara 1950, hanyalah dimaksudkan untuk tidak perlu menjelaskan hal yang sudah dianggap sudah cukup terang.
Dalam hal adanya ketentuan dalam Pasal 85, segala keputusan presiden ditandatangani oleh menteri-menteri yang bersangkutan adalah dimaksudkan bahwa menteri-menteri yang tersebut setuju dengan keputusan itu. Persetujuan itu sangat penting karena Pasal 83 UUD Sementara 1950 menyatakan bahwa menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat (tak bertanggung jawab)
Oleh karena itu, maksud dari Pasal 83 tersebut adalah untuk memberikan kepada menteri-menteri dan parlemen tempat menteri-menteri bertanggung jawab pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, sementara kekuasaan yang dipegang oleh presiden hanya apa yang secara tegas dinyatakan oleh beberapa pasal yang tertera di dalam UUD Sementara 1950.
a) Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Undang-undang Dasar Sementara 1950 secara tegas memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengangkat wakil presiden, perdana menteri, menteri-menteri,dan pejabat-pejabat lainnya. Presiden juga memiliki kekuasaan untuk mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
b) Kekuasaan di Bidang Legislasi
Presiden memiliki kekuasaan untk mengambil inisiatif dalam perundang-undangan dan menyampaikan rancangan Undang-undang ke DPR dengan amanat presiden. Selain itu, presiden juga berwenang untuk membubarkan DPR, jika lembaga tinggi tersebut tidak mewakili kehendak rakyat.
c) Kekuasaan di Bidang Yudisial
UUD Sementara 1950, memberikan kekuasaan kepada presiden untuk memberikan grasi kepada seseorang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan kekuasaan abolisi dan amnesti , tidak diberikan oleh UUD Sementara 1950 kepada presiden melainkan melalui UU setelah meminta nasihat dari Mahkamah Agung.
d) Kekuasaan di Bidang Militer
Pasal 85 UUD Sementara 1950 secara tegas mengatakan bahwa presiden memegang kekuasaan atas angkatan perang. Namun, dalam UUD Sementara 1950 tidak disebutkan secara jelas mengenai penyebutan jabatan presiden selaku pemegang kekuasaan atas angkatan perang. Pasal 127 ayat 1 UUD Sementara hanya menyebutkan “Presiden ialah Panglima Tertinggi tentara atas Angkatan Perang Republik Indonesia”. Pada UUD Sementara 1950 secara tegas menyatakan bahwa presiden dengan cara dan dalam bentuk hal-hal yang akan ditentukan dengan undang-undang, dapat menyatakan daerah Republik Indonesia atau bagian-bagian daripadanya dalam keadaan bahaya, bila presiden menganggap itu perlu untuk kepentingan keamanan dalam negeri dan keamanan luar negeri.
e) Kekuasaan di Bidang Hubungan Luar Negeri
UUD Sementara 1950 secara tegas menyatakan bahwa presiden mempunyai kekuasaan untuk mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan dengan negara lain. Perjanjian tersebut tidak sah jika belum disetujui dengan undang-undang. Presiden juga mempunyai kekuasaan untuk menunjuk wakil-wakil diplomatik dan konsuler di negara-negara asing.
4. Berlakunya Kembali UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Secara normatif, tidak ada satu perubahan pasal pun dalam UUD 1945 pasca Dekrit Presiden 1959. Dekrit hanyalah sebuah instrument yang digunakan oleh. Presiden Soekarno dalam memberlakukan kembali UUD 1945 setelah Konstituante hasil pemilu tidak berhasil merumuskan suatu UUD yang baru.
Pasca pemberlakuan kembali UUD 1945 dikenal dengan era “Demokrasi Terpimpin”. Sebutan ini dimunculkan oleh Kabinet Djuanda pada tanggal 19 Februari 1959 yang mengambil keputusan secara bulat mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Demokrasi Terpimpin menurut Djuanda sebagaimana telah dimaksudkan dalam Pembukaan UUD 1945, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.” Menurut Djuanda, demokrasi terpimpin bukanlah diktator, berbeda pula dengan demokrasi sentralisasi, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal. Tetapi pada kenyataannya di lapangan tidak sesuai dengan pernyataan Djuanda itu. Itu terlihat adanya pemusatan kekuasaan pada presiden. Pemusatan kekuasaan tersebut bisa dilihat pada Kabinet Kerja III.
Pertama, Presiden membentuk dewan nasional dengan tugas membantu pemerintah. Dewan nasional merupakan sebuah badan untuk menghimpun kekuasaan-kekuasaan ekstraparlemen. Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan dan kemudian atas dasar Penetapan Presiden No.4 tahun 1960,presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR). Ketiga, Ketua dan Wakil ketua DPR-GR, Ketua dan Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS), Wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Ketua Dewan Perancang Nasional diberi kedudukan sebagai Wakil Menteri Pertama dan Menteri. Itu artinya, kedudukan 4 lembaga negara tersebut berada dibawah presiden.
Pada Demokrasi Terpimpin ini sering terjadi pergantian kabinet, mulai dari Kabinet III berubah menjadi Kabinet IV, lalu berganti kembali menjadi kabinet Dwikora hingga pada puncaknya terjadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI atau yang lebih dikenal dengan G30-S/PKI pada tanggal 30 September 1965. Pada peristiwa itu pula , gugur lah 7 orang Jenderal dari ABRI.
Setelah peristiwa itu,Presiden Soekarno dihadapkan pada situasi politik yang sangat sulit. Presiden menerima tuntutan dari rakyat atau yang dikenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Isinya menuntut presiden membubarkan PKI,membersihkan Kabinet dari pengaruh PKI dan menurunkan harga barang. Atas desakan massa, akhirnya tuntutan untuk pembersihan Kabinet Dwikora dikabulkan.
Kemudian Kabinet Dwikora dirombak menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan atau yang lebih dikenal dengan Kabinet Seratus Menteri. Tetapi Kabinet tersebut tidak bisa mengatasi situasi poltik yang memanas pada waktu itu. Di dalam kabinet tersebut diduga masih terdapat beberapa menteri dari PKI, sehingga terjadi unjuk rasa besar-besaran yang dipimpin oleh “Angkatan 66” pada saat pelantikan kabinet tersebut.
Kemudian pada tanggal 11 Maret 1966, sesuai dengan sidang Kabinet 100 menteri, Mayjen Basuki Rachmad, Brigjen. M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud menghadap Letjen Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat, untuk meminta izin menghadap kepada Presiden Soekarno di Istana Bogor. Dari Bogor ketiga jenderal ini membawa surat perintah dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah ini dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Isi surat tersebut adalah mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi.
Pada masa Kabinet Ampera, posisi Presiden Soekarno, sama sekali tidak ada artinya. Presiden tidak memliki lagi bargaining position dalam percaturan politik . Indikator lemahnya posisi Presiden Soekarno pada tanggal 10 Januari, 12 hari sebelum menyerahkan kekuasaan sepenuhnya ke tangan Soeharto. Politik Berdikari dengan semboyan go to hell with your aids runtuh bersamaan dengan jatuhnya supremasi kekuasaan eksekutif Presiden Soekarno.
Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dan Soeharto diangkat menjadi presiden. Soeharto pun pada tanggal 11 Oktober 1967 dengan nama Kabinet Ampera yang Disempurnakan. Dari sini baik secara yuridis maupun secara politik, Soeharto resmi memegang tampuk kekuasaan lembaga kepresidenan.
B. Kekuasaan Presiden Ri Setelah Perubahan Uud 1945
Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden RI pada waktu itu. Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata disalahgunakan sehingga memunculkan pemerintahan yang otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN (korupsi. kolusi dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto. Tuntutan dari berbagai elemen masyarakat diproses oleh MPR pada sidang istimewa pada tahun 1998. MPR mengeluarkan tiga Ketetapan MPR, yakni ; Pertama, Ketetapan MPR No.VIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 tentang referendum. Kedua, Ketetapan MPR No.XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. Ketiga, Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah terbitnya ketiga Ketetapan MPR tersebut. Kehendak dan kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945 makin mengkristal di kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik, termasuk partai politik. Akhirnya MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali.
1. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.” Demikianlah bunyi pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang menjadi dasar presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
2. Kekuasaan di Bidang Peraturan Perundang-undangan
a) Kekuasaan Mengajukan RUU, dan Membahasnya Bersama DPR
Berdasarkan Pasal 5 UUD 1945 sebelum perubahan, presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun setelah perubahan, kekuasaan membentuk udang-undang dipegang oleh DPR. Sesuai dengan pasal 20 ayat 1 UUD 1945 setelah perubahan. Secara tegas, “ Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang.” Meskipun begitu, presiden tetap mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b) Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-undang (Perpu)
Ketentuan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut berbunyi, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Syarat pokok yang harus dipenuhi oleh seorang presiden ketika akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tersebut adalah unsur, “kegentingan yang memaksa.” Tidak ada penjelasan resmi yang berkaitan dengan unsur “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tersebut.
c) Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah
d) “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.” Itu menurut Pasal 5 Ayat 2 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali.
Peraturan pemerintah (PP) dapat dibuat berdasarkan perintah tegas dari undang-undang (delegasi) atau berdasarkan pertimbangan presiden untuk melaksanakan suatu undang-undang.
3. Kekuasaan Di Bidang Yudisial
Menurut ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan, presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Namun setelah perubahan UUD 1945 yang pertama, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan yaitu ; dalam hal memberikan grasi dan amnesti , Presiden memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal memberi amnesti, dan abolisi, presiden memerhatikan pertimbangan DPR.
4. Kekuasaan dalam Hubungan dengan Luar Negeri
Menurut Bagir Manan, hubungan dengan luar negeri adalah masuk dalam kekuasaan asli eksekutif (original power of executive). Hanya eksekutif yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan setiap bentuk atau inisiatif hubungan luar negeri. Meskipun inisiatif dan keputusan tetap pada eksekutif, namun dalam perkembangannya dalam hal-hal tertentu suatu hubungan luar negeri wajib mengikutsertkan badan perwakilan.
Dalam UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, menetapkan beberapa jenis hubungan luar negeri, yaitu ; mengadakan perjanjian dengan negara lain, menyatakan perang dengan negara lain, mengadakan perdamaian dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul untuk negara lain dan menerima duta dan konsul negara lain.
a) Kekuasaan Mengadakan Perjanjian dengan Negara Lain
Ada sedikit perubahan dalam ketentuan Pasal 11 UUD 1945 yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Perubahan tersebut berupa penambahan dua ayat pada pasal tersebut. Ayat 1, isinya sama dengan bunyi Pasal 11 Ayat 1 sebelum perubahan. Ayat 2 berbunyi, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dan Ayat 3 berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.”
b) Kekuasaan Menyatakan Perang dengan Negara Lain
Presiden sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 11 UUD 1945, baik sebelum dan sesudah perubahan mempunyai kewenangan menyatakan perang dengan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 yang berkaitan dengan pengaturan perang dengan negara lain, tidak mengalami perubahan secara signifikan dari dahulu hingga sampai sekarang, presiden tetap memerlukan persetujuan DPR.
Sesuatu yang wajar jika perang memerlukan persetujuan DPR, karena membawa konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan bangsa dan negara.
c) Kekuasaan Mengadakan Perdamaian dengan Negara Lain
Sesuai Pasal 11 UUD 1945, presiden mempunyai kekuasaan untuk membuat perdamaian dengan negara lain. Perjanjian perdamaian dalam rangka mengakhiri secara de jure peperangan atau permusuhan , tidak hanya sebatas pada penghentian permusuhan, tetapi mencakup juga hal-hal lain seperti soal tawanan, ganti rugi akibat peperangan dan lain-lain. Dalam hal ini, presiden wajib meminta persetujuan DPR.
d) Kekuasaan Mengangkat dan Menerima Duta dan Konsul
Pasal 13 UUD 1945 yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam hal mengangkat duta dan konsul serta menerima duta dan konsul negara lain sedikit mengalami perubahan. Perubahan UUD 1945 dalam hal ini mengangkat duta dan menerima duta dari negara lain, presiden diharuskan memerhatikan pertimbangan presiden.
5. Kekuasaan Menyatakan Keadaan Bahaya
Berdasarkan pada Pasal 12 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali, presiden memiliki kewenangan untuk menyatakan keadaan bahaya. Pasal tersebut berbunyi, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”
Dengan merujuk pada ketentuan pasal itu, maka presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya tidak perlu meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dalam undang-undang yang berarti memerlukan persetujuan DPR.
6. Kekuasaan Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan Bersenjata
“Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Demikian bunyi Pasal 10 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali.
Dari ketentuan tersebut, maka kepolisian tidak termasuk sebagai angkatan perang atau bersenjata. Tetapi pada era sebelum reformasi, angkatan kepolisian dinyatakan sebagai
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Namun setelah reformasi, ketentuan tersebut telah mengalami perubahan setelah keluarnya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. Kekuasaan Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan Lainnya
Kekuasaan presiden dalam hal memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan diatur dalam Pasal 15 UUD 1945. Sebelum perubahan , pasal tersebut berbunyi, ”Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.” Namun setelah perubahan, pasal tersebut berbunyi menjadi ; “Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur di dalam undang-undang.
Tanda jasa bintang diberikan kepada seseorang yang berjasa luar biasa kepada bangsa dan negara. Sedangkan tanda jasa “Batyalencana” diberikan kepada orang yang berjasa besar pada bangsa dan negara. Sedangkan kepada daerah provinsi yang berhasil melaksanakan pembangunan diberi tanda penghargaan “Prasamyapurnakaryanugraha”. Sementara itu, kepada Kesatuan ABRI yang berprestasi besar memperoleh ‘Samkaryanugraha”.
8. Kekuasaan Membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia termasuk baru. Lembaga ini diadakan sebagai pengganti dari penghapusan Dewan Pertimbangan Agung pada perubahan keempat UUD 1945 pada Sidang Umum MPR tahun 2002. Sekarang Dewan Perwakilan Agung itu tinggal kenangan, karena Pasal 16 UUD 1945 sudah tidak mengatur Dewan Pertimbangan Agung kembali, melainkan mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Presiden. Selengkapnya pasal tersebut sekarang berbunyi; “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yamg selanjutnya diatur dalam undang-undang.
9. Kekuasaan Mengangkat dan Memberhentikan Menteri-menteri
Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 Ayat 2 UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan ini tidak diatur oleh suatu perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut diserahkan kepada presiden. Setelah perubahan pertama dan ketiga, Pasal 17 mengalami sedikit perubahan. Jika sebelum perubahan, presiden bebas melakukan pembentukkan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara. Maka setelah perubahan hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan semerta-merta, karena semua itu diatur dengan undang-undang. Itu artinya, presiden harus memerlukan persetujuan DPR untuk pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara. Tetapi dalam hal pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri, presiden bebas melakukan kapan saja tanpa harus meminta persetujuan dari lembaga negara lainnya.
10. Kekuasaan Mengangkat, Menetapkan atau Meresmikan Pejabat-pejabat Negara Lainnya.
Setelah perubahan UUD 1945, presiden RI memiliki beberapan kekuasaan dalam hal pengangkatan, pemberhentian, penetapan maupun peresmian pejabat-pejabat negara tertentu setelah perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 yaitu ; pertama, memiliki kekuasaan utnuk meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Kedua, memiliki kekuasaan menetapkan calon Hakim Agung yang telah disetujui oleh DPR. Ketiga, mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota komisi yudisial dengan persetujuan DPR. Keempat, mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan 3 hakim konstitusi dan menetapkan 9 hakim konstitusi yang diusulkan masing-masing 3 dari Mahkamah Agung, 3 dari DPR, dan 3 dari Presiden sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sebelum perubahan UUD RI 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah berganti konstitusi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Perubahan tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan presiden.
2. Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden RI pada waktu itu. Besarnya kekuasaan tersebut dalam praktiknya ternyata disalahgunakan sehingga memunculkan pemerintahan yang otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN (korupsi. kolusi dan nepotisme), baik pada masa Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto. Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan banyak tuntutan agar UUD 1945 dilakukan perubahan. Kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD 1945 antara lain, yaitu :
1) Kekuasaan Penyelenggaraan Negara
2) Kekuasaan di Bidang Peraturan Perundang-undangan
3) Kekuasaan di Bidang Yudisial
4) Kekuasaan dalam Hubungan dengan Luar Negeri
5) Kekuasaan Menyatakan Keadaan Bahaya
6) Kekuasaan Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan Bersenjata
7) Kekuasaan Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan Lainnya
8) Kekuasaan Membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
9) Kekuasaan Mengangkat dan Memberhentikan Menteri-menteri
10) Kekuasaan Mengangkat, Menetapkan dan Meresmikan Pejabat-pejabat Negara Lainnya
B. Saran
Dengan adanya artikel ini saya mengharapkan kepada pembaca agar tahu dan mengerti tentang kekuasaan atau bela Negara presiden yang sebenarnya. Selain itu dapat menambah pengetahuan kita tentang sistem lembaga kepresidenan kita saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Ghoffar, Abdul . 2009 . Perbandingan Kekuasaan Presiden Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju . Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
- Mahfud MD,Moh. 2001 . Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia . Jakarta : Rineka Cipta.
- Anonim. 2011. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia . http://birokrasikomplek.blog spot.com/2011/06/kekuasaan-presiden-republik-indonesia.html . Tanggal akses 10 Mei 2013.
- Anonim. 2012. Kekuasaan Presiden RI Sebelum Amandemen UUD 1945 . http://seruanka sih.wordpress.com/2012/ 07/29/kekuasaan- presiden-ri-sebelum-amandemen-uud-1945-tugas-mata-kuliah-sistem-politik-indonesia/ . Tanggal akses 10 Mei 2013
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
Bab II. Pembahasan
A. Kekuasaan Presiden Ri Sebelum Perubahan Uud 1945
B. Kekuasaan Presiden Ri Setelah Perubahan Uud 1945
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA